KISAH PENJUAL MUKENA
Di keramaian pasar tradisional perempuan itu menggelar dagangannya ; tiga mukena putih yang semalam ia kerjakan. Tempat ia menggelar mukena memang ramai, berada di persimpangan lorong pasar. Pengunjung pun berseliweran lalu lalang.Hari itu suasana pasar lebih ramai dari biasanya. Maklum, dua hari lagi, bulan ramadhan tiba. Orang keluar masuk pasar untuk membeli kebutuhan menyambut datangnya bulan suci.
Selain membeli bahan makanan, banyak perempuan yang berbelanja mukena untuk sholat tarawih di kampung atau di desanya. Penjual mukena tahu betul, kalau hari ini dagangannya bakalan habis. Ia sudah berpengalaman menjual mukena pada saat menjelang datang bulan puasa.
Sebagai seorang janda pensiunan dari tentara pejuang berpangkat rendah, tentu ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ditambah kebutuhan sekolah anak-anaknya. Sebelum tengah hari, ketika dagangannya habis, ia dapat bergegas pulang untuk menyiapkan makan siang anka-anaknya yang pulang sekolah.
Mukena ketiga dibeli oleh perempuan kaya bertubuh gemuk.
"Saya ingin membelikankan mukena untuk pembantu biar besok dapat sama-sama sholat tarawih di mushola, " kata perempuan gemuk itu.
"Silakan, Bu. Harganya seperti yang saya tawarkan tadi, sudah pas, Bu."
"Tidak bisa kurang?"
"Maaf Bu, pembeli yang tadi juga saya pato harga segitu."
"Ya sudah kalau begitu, ini uangnya."
Tadi, penjual mukena itu membawa lima mukena. Kini sudah laku tiga lembar. Ia yakin akan datang pembeli yang ke empat dan kelima. Pembeli keempat, seorang remaj yang mengaku mukena lama miliknya sudah rusak, banya tambalan. Ia malu kalau sholat tarawih menggunakan mukena lama. ia mengambil uang tabungan di bank, kemudian pergi ke pasar. Dengan cepat, ia membayar setelah mencoba dan pas. Kemudian, ia pulang dengan wajah berbinar.
Tinggal satu mukena si ibu menunggu lama, tapi belum ada juga pembeli yang mampir. Perempuan itu mulai letih dan lapar. Tapi, ia masih terus bertahan.
Seoarang perempuan tua berpakaian kumal mendekat. Kelihatan sangat berminat memiliki mukena baru. Tapi, ia tampak ragu. sebentar maju, kemudian mundur. Hanya matanya yang menunjukkan kalau ia menginginkan benda itu.
"Mau beli mukena, Mbah ?" tanya sang penjual.
Permpuan tua itu mengangguk.
"Silakan lihat, pegang, dan ukur dulu, siapa tahu cocok."
Perempuan tua itu menggelar mukena, lalu mengukurpanjang mukena dengan tinggi badan. cocok. Tidak kurang. Malahan, mukena yang bagus adalah yang longgar. Enak di badan saat dikenakan.
Saat tiba membayar, perempuan tua itu membongkar dompetnya. Uang receh dan satu lembar ribuan.
"Wah, uang saya hanya ada dua ribu lima ratus rupiah. Kuarang. Bagaimana ya?" katanya terbata-bata.
Penjual mukena memperhatikan calon pembeli terakhir. Ia lihat perempuan tua itu sungguh-sungguh ingin memiliki mukena.
"Mbah ingin memilki mukena ini?".
"Ya, tapi uang saya tak cukup."
Penjual mukena luruh hatinya. Ia melepas mukena kelima dengan harga yang sangat murah. Ia ingin simbah itu dapat menikmati indahnya bulan Ramadhan dengan mukena baru. Barang itu dibungkus kertas koran, lalu dimasukkan ke tas plastik putih.
"Rumahnya mana, Mbah ?" tanya penjual mukena sambil menyerahkan mukena itu.
Perempuan tua itu menyebut nama sebuah desa yang terletak di sebuah kecamatan paling jauh di lingkunagan kabupaten. Penjual mukena membayangkan, kalau naik angkutan umum saja, bisa-bisa sampai rumah sudah ashar. Kalau jalan kaki, pasti sehabis Isys' baru sampai.
Kasihan juga dia.
Penjual mukena membuka dompet. Mengembalikan uang yang tadi dibayarkan oleh perempuan tua.
"Sudah Mbah, ini dipakai untuk naik bus saja," katanya kemudian sambil mengembalikan uang yans sudah diterimanya.
"Sungguh?"
"Ya, Mbah."
Perempuan tua menerima unagnya yang dikembalikan denagn terharu. Ia menciumi tangan penjual mukena sampai lama. sambil mulutnya melantunkan doa.
Dagangannya habis. Penjual mukena itu bergegas pulang. Ia tahu betul hari ini, ia pulang tanpa membawa laba sedikitpun. Biasanya, kalau ia membuat dan menjual lima mukena, maka keuntungannya seharga sebuah mukena yang terakhir. Karena mukena terakhir di beli dengan harga dua ribu lima ratus rupiah, itu saja kemudian dikembalikan utntuk biaya transportasi ke desa pembeli yan sangat jauh, praktis uang hasil penjualan empat mukena hanya kembali modal. Persis sama. Tanpa keuntungan serupiahpun. Tapi, ia ikhlas, mengingat perempuan tua itu sangat membutuhkan mukena baru.
Di siang yang panas, ia berjalan menuju rumah. Ia telah berbelanja secukupnya.
Tiba di rumah, anak bungsunya menghambur memeluknya. Ada apa ?
"Bu, saya mendapt beasiswa. Ini pengumumannya," kata sang anak sambil mengambil kertas dari tasnya.
Penjual mukena menerima kerta itu dan membaca dengan teliti kertas pengumuan itu. Lalu, ia mengajak anaknya melakukan sujud syukur bersama.
Alloh telah mengganti uang yang tadi ia memberikan kepada perempuan tua itu dengan jumlah berlipat ganda. Untuk bulan itu dan bulan-bulan selanjutnya, ia tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolah anak bungsunya ini. Tinggal mencari uang untuk membiayai sekolah kakak-kakanya.
mukena murah
mukena anak